SENDAWAR, MANDAUPOST – Dalam semangat pelestarian warisan budaya Nusantara, Serasehan Harmoni Mandau digelar sebagai forum kolaboratif lintas sektor yang mempertemukan para pelaku budaya, akademisi, pemerintah, Komunitas adat, dan generasi muda.
Acara ini menjadi bagian penting dari upaya bersama untuk mendorong pengakuan Mandau senjata tradisional suku Dayak sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia UNESCO pada tahun 2025. Yang berlangsung digedung Aji Tulur Jejangkat (ATJ), Jum’at (4/7/2025).
Sebagimana kita ketahui bersama bahwa Mandau adalah senjata tradisional suku Dayak di Kalimantan yang sudah di akui oleh Indonesia. Mandau juga bukan hanya sekadar alat, melainkan sebuah simbol identitas, keberanian, dan kearifan lokal yang kaya akan nilai-nilai sejarah dan spiritual. Keberadaannya melekat erat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat adat Dayak, mulai dari upacara adat, ritual keagamaan, hingga seni pertunjukan.
Namun, di tengah gempuran modernisasi dan globalisasi, warisan budaya tak benda seperti Mandau menghadapi tantangan pelestarian yang serius. Kurangnya pemahaman lintas generasi, minimnya dokumentasi yang komprehensif, serta potensi hilangnya pengrajin tradisional adalah beberapa ancaman nyata.
Oleh karena itu, penting untuk secara aktif berkolaborasi lintas sektor dalam upaya melestarikan Mandau, tidak hanya sebagai benda mati tetapi sebagai warisan hidup yang harus terus diwariskan dan diakui dunia. Pengusulan Mandau sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia oleh UNESCO menjadi sebuah keniscayaan untuk memastikan keberlanjutan dan pengakuan global terhadap kekayaan budaya.
Dalam sambutan Bupati Kutai Barat Frederick Edwin menyampaikan, Memaknai filosofi mandau secara mendalam dapat mengajarkan kita tentang ketajaman pemikiran, keberanian bertindak, dan keuletan dalam mempertahankan nilai-nilai luhur. Namun, di tengah gempuran modernisasi, kita menghadapi tantangan besar untuk memastikan Mandau tetap hidup, dikenal, dan dihargai oleh generasi mendatang, bahkan oleh dunia.
Inilah mengapa saresehan kita hari ini menjadi sangat relevan. Dengan mengangkat tema “Kolaborasi Lintas Sektor untuk Asih Asah Asuh Menuju Warisan Budaya Tak Benda Dunia” ini bisa dijadikan sebagai panggilan sekaligus tantangan bagi kita semua.
“Asih” berarti kasih sayang, kepedulian. Kita harus menumbuhkan rasa cinta dan kepedulian yang mendalam terhadap Mandau, bukan hanya sebagai artefak, tetapi sebagai jiwa yang terus berdetak dalam denyut kehidupan kita. Ini berarti melibatkan generasi muda, menanamkan kebanggaan, dan memastikan cerita serta makna Mandau terus diceritakan.
“Asah” berarti mengasah, mengembangkan. Ini adalah tugas kita untuk terus menggali, meneliti, dan mendokumentasikan setiap aspek Mandau. Mulai dari proses pembuatannya, ragam motifnya, hingga kisah-kisah heroik yang menyertainya. “Asah” juga berarti mengembangkan potensi Mandau sebagai inspirasi dalam berbagai bidang, termasuk seni, ekonomi kreatif, dan pariwisata dan “Asuh” berarti membimbing, memelihara. Kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian Mandau secara fisik dan non-fisik. Ini mencakup perlindungan para empu dan pengrajin Mandau, regenerasi keahlian, serta memastikan ekosistem budaya yang mendukung keberlangsungan Mandau terus berkembang.
Sarasehan ini bukan hanya menjadi forum diskusi semata, tetapi juga pemicu lahirnya gerakan nyata dan berkelanjutan dalam pelestarian Mandau.
Frederick Edwin berharap kolaborasi lintas sektor yang terjalin semakin kuat, melahirkan inovasi dalam pelestarian, dan memastikan bahwa Mandau tidak hanya menjadi kebanggaan lokal, tetapi juga diakui sebagai warisan berharga bagi seluruh umat manusia.
“Semoga dengan kerja keras dan komitmen bersama, Mandau dapat segera tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia oleh UNESCO, menginspirasi daerah lain untuk terus menjaga dan mempromosikan kekayaan budaya mereka”. Ungkapnya
Melalui saresehan ini, “saya berharap kita dapat merumuskan langkah-langkah konkret, menyusun rencana aksi yang terpadu, dan mengidentifikasi potensi kolaborasi yang lebih luas. Mari kita jadikan forum ini sebagai titik tolak untuk memperkuat jaringan, berbagi ide, dan menyatukan energi demi satu tujuan mulia: menjadikan Mandau sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia.” Pungkanya. (**)
